Resensi "Padang Ilalang di Belakang Rumah"

 ini adalah resensi novel sastra salah satu kelompok di 12 IPA 3 yang di post-kan tanggal 15-9-2011 . bagi anda yang SATU SEKOLAH DENGANKU tolong jangan di "copas" , ya ,!!! 

  tenang nanti mulai tanggal 17 agustus 2012 anda boleh meng-copy-nya...... sebelumnya saya ucapkan terima kasih,,,,,,alhamdulillah,ya.(UU no.134 KUHP MPRS/XX/XXII)


IDENTITAS NOVEL
Judul : Padang Ilalang di Belakang Rumah
Pengarang : NH. Dini
Cetakan : Kedua, Tahun 1989
Tebal : 98 halaman

1.Sinopsis Novel “Padang Ilalang di Belakang Rumah”

Dini hidup dalam keluaraga yang sangat rukun dan berkecukupan. Dini adalah anak bungsu dari lima bersaudara. Kakaknya yang paling tua adalah Heratih, Nugroho, Maryam, dan yang terakhir adalah Teguh. Pada saat penjajahan Jepang ini,
Dini masih duduk di bangku SD. Rumah orang tua Dini lumayan besar dan mempunyai halaman yang cukup luas di depan dan di belakang rumah. Keluarga Dini merupakan keluarga yang lumayan kaya yang berada di desanya.
Sejak Jepang datang ke Indonesia, keadaan ekonomi keluarga Dini mengalami kemunduran. Hal ini menyebabkan kedua orang tuanya harus bekerja keras. Ibunya mulai membuat kue kering dan membatik untuk memenuhi kebutuhan keluarga. Selain itu halaman yang cukup luas di depan dan belakang rumah dimanfaatkan untuk memenuhi kebutuhan hidup. Halaman belakang dijadikan tempat untuk membuat kue dan membatik. Namun demikian, kehangatan dalam keluarga tetap terjalin. Banyak cerita – cerita menarik yang selalu terjadi di rumah tersebut. Diantaranya mencuri kue saat membantu membuat kue tersebut sampai ketahuan, meramal nasib, dan terselip di pohon belimbing sehingga pohon tersebut harus dipotong.
Selain Dini dengan orang tuanya, serta kakak – kakaknya yang tinggal di rumah tersebut, terdapat pembantu yang membantu segala pekerjaan yang terdapat di rumah tersebut. Selain itu paman Dini sering berkunjung dengan membawa anaknya. Dini sangat akrab dengan anak dari pamannya. Mereka selalu bermain bersama, dan sering menginap.
Saat terjadi pemberontakan yang dilakukan oleh anak bangsa, suasana jadi menakutkan karena Jepang sering sekali melakukan tembakan – tembakan. Banyak mayat yang tergeletak di jalan – jalan, semua warga harus mematikan lampu pada malam hari dan harus menyerahkan harta benda kepada Jepang. Orang tua Dini melarang anak – anaknya untuk keluar rumah karena suasana pada saat itu sangat menakutkan. Hanya ayahnya bersama dengan warga – warga yang lain yang keluar dan memberi informasi yang terjadi kepada keluarga yang ada di rumah. Setelah beberapa hari, keadan mulai tenang kembali dan ada kabar yang sangat menggembirakan yaitu Indonesia telah merdeka.


2.Unsur Intrinsik Novel “Padang Ilalang di Belakang Rumah”

a.Tema
Keharmonisan yang terjalin dalam sebuah keluarga membuat ketenangan dan keakraban seluruh anggota keluarga.


b.Latar atau Setting
Rumah orang tua Dini
Rumah Paman
c.Alur atau Plot
Alur yang digunakan dalam penulisan novel ini adalah alur maju.
Tahapan – tahapan alur:
1)Tahapan Permulaan
Keluarga Dini merupakan keluarga yang cukup kaya diantara keluarga – keluarga lain yang terdapat di desanya. Rumah orang tua Dini lumayan besar dan memiliki halaman yang cukup luas di depan dan di belakang rumah.
Dini merupakan anak bungsu dari lima bersaudara. Kakak – kakaknya yaitu Heratih, Nugroho, Maryam, dan Teguh. Selain itu keluarga Dini juga memiliki beberapa pembantu.
2)Tahapan Pertikaian
Sejak jaman penjajahan Jepang, kehidupan menjadi semakin sulit. Hal ini sangat dirasakan oleh keluarga Dini. Agar dapat bertahan hidup di jaman yang seba kekurangan, orang tuanya memutuskan untuk memiliki satu pembantu saja. Itu pun dikarenakan pembantu tersebut sudah mengabdi selama bertahun – tahun. Karena memiliki kemampuan dalam membuat kue dan membatik, Ibu Dini memutuskan membuat kue untuk membantu perekonomian keluarga.


3)Tahapan Perumitan
Usaha yang dilakukan oleh Ibu Dini lumayan maju, halaman yang terdapat di belakang rumah dijadikan tempat untuk membuat kue dan membatik. Meskipun kehidupan susah, namun keluarga Dini tetap harmonis.
Paman Dini sering berkunjung bersama anak istrinya, hal ini menambah keakraban Dini dengan saudaranya.
4)Tahapan Puncak (Klimaks)
Saat keluarga Dini mulai bisa mengatasi keadaan ekonomi yang sulit dengan membuka usaha, pemberontakan terjadi di mana – mana. Warga harus menyerahkan harta benda kepada pemerintah Jepang, karena pada saat itu jepang membutuhkan biaya yang besar untuk berperang melawan sekutu. Pemberontakan dari pemuda PETA pun terjadi. Ledakan – ledakan banyak terjadi dan warga diharuskan memadamkan lampu pada malam hari. Banyak mayat tergeletak di mana – mana.
5)Tahapan Peleraian
Paman Dini merupakan anggota PETA. Orang tua Dini sangat khawatir dengan keadaan anak dan istri paman, tapi ternyata mereka selamat. Orang tua Dini melarang anaknya untuk keluar rumah karena takut terjadi sesuatu yang tidak diinginkan.
6)Tahapan Akhir
Suasana yang menegangkan mulai mereda. Hanya ayahnya yang keluar rumah bersama dengan warga – warga lainnya. Sedangkan anak – anak tetap harus berada di rumah. Dan tidak lama kemudian terdengar kalau Indonesia telah merdeka.
d.Sudut Pandang
Novel ini menggunakan sudu pandang orang pertama.
e.Penokohan
Dini : penurut
Ibu : bijaksana, baik
Ayah : bijaksana, kepala keluarga yang baik
Nugroho : suka mengejek tapi baik
Heratih : penyayang
Maryam : penurut
Teguh : bandel, baik

f.Gaya Penulisan
Novel ini merupakan kisah nyata dari kehidupan NH.Dini. menggunakan gaya bahasa yang sangat menarik seperti personifikasi dan simile. Novel karya NH. Dini selalu berbeda dengan karya – karya lainnya, karena dalam penulisannya selalu menggunakan sudut pandang orang pertama sehingga pembaca akan selalu mengira bahwa novel – novel yang dibuat olehnya merupakan kisah nyata. Padahal tidak semua karyanya merupakan kisah nyata.
g.Amanat
Manusia harus saling membantu dalam hal apapun. Setiap permasalahan yang dirasakan berat akan terasa ringan jika dihadapi bersama – sama.

3.Kutipan Novel “Padang Ilalang di Belakang Rumah”

Tidak mengherankan berita itu merupakan bom yang dahsyat bagi Ibu. Nyonya Bustaman adalah ibu temanku Treksi. Berkedudukan sama dengan kami dalam tingkatan sosial sebelum Jepang masuk. Beberapa bulan yang lalu suaminya meninggal. Pada masa itu, laki – laki di rumah adalah ruang penyangga hidup seluruh keluarga. Kalau dia hilang, rumah dapat runtuh, isinya mati kelaparan. Apalagi di zaman serba sukar mencari isi perut. (halaman 4)

Aku selalu terpesona melihat kemegahan rumah saudagar batik itu. Letaknya di bagian kota yang mewah, berpagarkan terali besi yang tinggi sekali. Itu bukanlah satu – satunya gedung yang pernah kumasuki. Namun mendekat dan melangkahkan kaki ke halamannya, aku merasakan suatu tantangan yang aneh. Barangkali karena di depan pintu gerbang ada gambar seekor anjing dengan tulisan “ awas anjing galak” dank karena setiap

Teguh lebih suka kepada yang telah masak. Dia menolong menghitung kue kering tersebut, memasukannya ke lodong atau kaleng. Kalau Ibu atau Heratih tidak melihat, dari lima buah kue yang ada ditangannya, hanya tiga yang dihitung sambil bersuara keras. Sisanya segera menghilang ke dalam saku celana pendeknya, bercampur dengan segala macam benda yang telah ada di sana., berupa potongan – potongan tali, karet blandring, kepingan kaca, kancing baju dan barangkali pula beberapa jenis binatang kecil. Ya, binatang kecil! Karena pernah terjadi, pada suatu subuh, Heratih kubangunkan. Kami berdua memasang telinga, mendengarkan suara katak yang tersekap di dalam kamar. Kami mencarinya, tidak berhasil. Ketika mengetahui Ibu telah selesai sembahyang, kakakku keluar meminta bantuannya. Sekali lagi kami bertiga mencari asal suara katak itu. Akhirnya Ibu menarik celana Teguh dari gantungan. Dari salah satu sakunya meloncatlah seekor katak cokelat berlumutan. (halaman 10)

“Sambel bajaaaak, sambel bajaaaak!”
Aku tidak menyaksikan sebab – sebab kemarahan itu. Menurut cerita, karena pada suatu hari ketika dia hendak makan, sambel kesukaannya itu telah habis. Lalu dia berlari ke luar, tidak mau makan. Sebelum Ayah dapat memburunya, kakakku telah memuaskan diri dengan ungkapan kemarahannya yang sangat gaduh: melemparkan batu – batu ke pintu Wetan Dalem. (halaman 16)

Aku berdiri tidak jauh dari sana. Kadang – kadang tanpa sengaja, kakakku menjatuhkan buah – buah yang terlalu masak, terlepas dari dahan begitu disentuh. Edi berlarian kesana kemari memunguti buah – buah yang berjatuhan. Kadang – kadang ada yang tepat menimpa dirinya. Lalu dia berteriak atau kaget dan terlompat. Tubuhnya yang kecil itu bagaikan kupu – kupu berpindah – pindah dengan gerak yang lincah namun lembut dan ringan. (halaman 17)

Kami bertiga kembali berkumpul di pendapa, hendak masuk ke dalam
rumah ketika Teguh memanggil – manggil.
“Dini, Dini! Tolong aku sebentar!”
Kami semua menoleh. Dari jauh kakakku kelihatan telah sampai di batas batang yang bercabang tiga. Badannya terselip di sela – selanya.
Sepupuku mengikutiku, kembali kea rah pohon.
“Mengapa?” tanyaku sambil mendekat.
“Aku tidak bisa terlepas,” katanya.
“Ah, kau! Selalu ada – ada saja!” sahutku dengan suara kesal sambil beranjak hendak menuju kembali ke pendapa. (halaman 18)

Teguh masih berada di di antara ketiga cabang. Waktu melihat Ibu, dia berseru:
“Aku terjepit, Bu. Bagaimana bisa keluar dari sini?”
Dengan iba aku melihat mata kakakku mulai gugup, berkaca – kaca. Rupanya dia benar – benar terjepi di sana. (halaman 19)

….. Kakakku Nugroho tertawa terkikih – kikih melihat adiknya terselip diantara batang – batang belimbing.
“Awas! Kau akan berada di situ seterusnya. Kau akan menjadi monyet! Setiap hari dikirim makanan, tapi kau harus hidup di pohon.”
…..
Katanya aku akan menjadi monyet!” teguh berteriak mengadu kepada Ibu
…..
“Ini yang namanya benar – benar banteng kejepit,” kata Maryam, yang biasanya tidak suka mengejek maupun berolok – olok.
“Benar! Haaaa, itu benar!” ketawa Nugroho lagi, semakin keras, terlalu senang mendengar olokan baru.
“Ya, betulitu, ya?” sambung Heratih. (halaman 21)

Ketika Teguh keluar, kami semua menghela napas lega. Ibu memeluknyaseakan – akan baru kembali dari perjalanan jauh. Paman dan Ayah bergantian mengusap kepalanya sambil tertawa puas. Kami anak – anak perempuan tersenyum – senyum pula, mengamati Teguh mengenakan bajunya kembali. Nugroho berjingkat – jingkat mengulangi olok – olokannya.
“Banteng kejepit, banteng kejepit!” (halaman 24)

Dan memang begitulah! Sejak hari itu, ucapan “banteng kejepit” lebih sering terdengar di rumah kami. Juga diucapkan oleh keluarga serta kerabat yang dekat. Bagiku sendiri, panggilan banteng terus ku pergunakan hingga masa dewasa, sebagai nama kesayangan. (halaman 27)

Pohon belimbing masih tegak dengan ketuaanya yang anggun. Salah sebuah batangnya yang menjulang, kelihatan sebagian kulitnya yang terkelupas. Namun itu tidak mengurangi kesegaran buah yang terus dihasilkannya. (halaman 27)

Paman bukan orang yang terkenal. Tetapi pemerintah penjajahan melakukan pengawasan dari dekat terhadap semua orang yang menjadi anggota perkumpulan nasional. Gerak – gerik mereka dicatat, dilaporkan kepada yang berwajib. (halaman 29)

Seodi dekat tiang bendera adalah pengunjung kami yang setia. Perempuan itu datang selalu membawa sesuatu digendongannya, berupa dagangan. Semua barang dapat dititipkan kepadanya sebagai pedagang perantara. Kain batik, taplak meja, barang perhiasan. Kami memanggilnya Bu Rus. Wanita itu sudah berumah tangga, tetapi tidak m dia suka sekali kepadaku. Berkali – kali aku dibujuknya supaya tinggal bersamanya. Katanya hendak diangkat menjadi anaknya. Tetapi aku tidak suka kepadanya. Selain tubuhnya yang gemuk, ketiaknya berbau keras. (halaman 56)

Kepentingan Asia Timur Raya!
Kemakmuran dan kebebasan yang diharapkan rakyat ketika ditinggal penjajah Belanda, hanya datang berupa janji serta keprihatinan. Kemelaratan yang dulu tidak kelihatan, kini tersuguh dimana – mana. Tak selangkah pun kami berjalan tanpa menjumpai tanda – tanda kemiskinan dalam segala hal. Pakaian kumal dan kotor. Makanan apa lagi! (halaman 76)

Pemberontakan meletus di kalangan pemuda PETA terhadap pemerintahan Jepang. Mereka berbalik melawan guru dan pendidiknya sendiri lalu merambat hingga ke seluruh kota. Tentara dan polisi Jepang tidak lagi membedakan pemberontak dengan penduduk biasa. Mereka menembak mati semua orang yang dicurigai dan yang lewat di jalanan. (halaman 78)

Kemudian diumumkanmelalui radio, bahwa pemberontakan telah dapat dipadamkan. Penduduk diminta meneruskan kegiatan masing – masing. Bapak berangkat mencari berita tentang paman, segera kembali dengan membawa kabar keselamatan mereka. Tetapi ayah tidak bercerita sedikitpun mengenai apa yang dilihatnya di jalan – jalan. Sedangkan Teguh, yang melanggar larangan orang tua kami keluar dari kampong, pulang dengan ceritanya yang mendirikan bulu roma: sungai – sungai penuh bangkai, jalanan penuh mobil dan kendaraan rusak, bekas terbakar (halaman 82)

Hari – hari berikutnya sering terdengar sirine tanda bahaya udara. Dengan taat kami turun ke dalam lubang perlindungan. Tetapi lama – lama ayah memperhatikan bahwa sirine itu hanya terdengar pada waktu siang. Malam hari pemerintah kota membatasi kegiatan penduduk di luar rumah sampai jam enam pagi. Pemasangan lampu diperbolehkan hanya sampai jam tujuh. Siapapun yang melanggar peraturan itu, akan dibawa ke Kempetai. (halaman -94)

Kemudian keadaan menjadi tenang kembali. Untuk berapa lama? Tak seorang pun mengetahuinya. Sudah beberapa kali kami tertipu oleh palsunya keredaan suasana. Pagi itu kabar yang tersebar mengatakan bahwa tentara Inggris telah dapat menguasai keadaan. ( halaman 97)

Sejak beberapa hari beredarlah kabar desas – desus dari mulut ke mulut bahwa Indonesia telah merdeka. Ayah pun kemudian mendapatkan kepastian mengenai berita itu. (halaman 97)



BIOGRAFI PENGARANG
NH. Dini lahir pada tanggal 29 Februari 1936 di Semarang. Setelah tamat SMA bagian sastra ( 1956), mengikuti Kursus Pramugari Darat GIA Jakarta ( 1956), dan terakhir mengikuti Kursus B-I Jurusan Sejarah ( 1957). Tahun 1957-1960 bekerja di GIA Kemayoran, Jakarta. Setelah menikah dengan Yves Coffin, berturut – turut Ia bermukim di Jepang, Perancis, Amerika Serikat, dan sejak 1980 menetap di Jakarta dan Semarang.
Karyanya : Dua Dunia (1956), Hati yang Damai (1961), Pada Sebuah Kapal (1973), La Barka ( 1975), Namaku Hiroko ( 1977), Keberangkatan (1977), Sebuah Lorong di Kotaku (1978), Langit dan Bumi Sahabat Kami (1979), Sekayu (1981), Amir Hamzah Pangeran dari Seberang (1981), Kuncup Berseri (1982), Tuileris ( 1982), Segi dan Garis (1983), dan Orang – orang Tran (1985). Terjemahannya: Sampar ( Karya Albert Camus, La Peste, 1985).

Comments

Popular posts from this blog

PENGERTIAN IMBIBISI ADALAH...